,

Hasil UTS Kelas XI Semester I TA 2013/2014

UTS atau Ulangan Tengah Semester sudah berakhir. Dimulai dari tanggal 7 s/d 12 Oktober 2013. Tak ada yang diharapkan siswa selain ingin tahu nilai yang mereka peroleh.
Kewajiban seorang guru selain memberikan pelajaran yang bermanfaat kepada anak didiknya, juga melaporkan hasil/nilai yang mereka peroleh setiap kali dilaksanakannya evaluasi termasuk UTS ini.

Pada UTS kemaren, materi evaluasi yang disuguhkan materi tentang internet dan banyaknya soal adalah 10 butir soal untuk pilihan ganda dan 5 soal untuk essay

Kunci Jawaban untuk Pilihan Ganda

  1. e
  2. b
  3. a
  4. c
  5. d
  6. a
  7. c
  8. b
  9. d
  10. e

Kunci Jawaban Essay

  1. URL singkatan dari Uniform Resource Locator yakni alat - alat dokumen yang ada dalam halaman website
  2. Yang dimaksud dengan WebPage adalah Dokumen yang dirancang untuk dilihat disebuah web browser. Biasanya ditulis dalam bahasa HTML
  3. Wifi adalah Singkatan dari Wireless Fidelity yakni istilah populer untuk bentuk komunikasi data nirkabel (tanpa kabel). Pada dasarnya Wi-Fi adalah Wireless Ethernet
  4. Yang dimaksud dengan Spam adalah Usaha atau cara yang salah dalam menggunakan mailing list atau fasilitas komunikasi lainnya dengan mengirim pesan yang sama ke banyak pihak yang sebenarnya tidak memintanya, seolah menyiarkan pesan tersebut.
  5. Mailbox adalah  Area penyimpanan di disk yang dialokasikan untuk pengguna jaringan kerja guna menerima pesan lewat e-mail.

HASIL UTS

Dari hasil kegiatan evaluasi belajar tersebut dapat dibuat rekapitulasi perbandingan per kelas yang dimaksudkan sebagai bahan evaluasi guru bidang studi tersebut tentang kelas mana daya serapnya lebih bagus dan mana yang tidak. Hal ini bukan untuk membandingkan kelas yang bagus dan tidak, tapi hanya sebagai evaluasi tentang apa yang salah terhadap kita sebagai tenaga pengajar dikelas tersebut untuk nantinya dapat diperbaiki dengan metode - metode yang lain. 
Rekapitulasi Hasil Evaluasi Belajar 



Diagram Perbandingan Melalui Grafik
 
 
Dari hasil diatas semoga dapat diambil manfaatnya untuk evaluasi cara belajar bagi guru dan siswa. Alhamdulillah


Sekolah dan Kepercayaan Publik

Berselancar di dunia maya, penulis mengunjungi arsip Radar Banjarmasin dan dibuat agak berkerut dengan membaca opini yang ditulis oleh Gita Pebrina Ramadhana beberapa waktu lalu tentang Pelecehan Seksual di Sekolah (30/04/2013). Terkejut karena rasanya kesimpulan dari tulisan tersebut terlalu dini sebagai sebuah kejadian di sekolah-sekolah di Indonesia. Penulis percaya bahwa masih banyak-banyak-dan banyak sekolah-sekolah-sekolah yang masih bagus dan baik dengan memberikan pelajaran yang baik-baik-baik pula.

Gita Pebrina menuliskan “permasalahan Indonesia tidak pernah berakhir dan selesai.  Khususnya terhadap anak-anak yang berusia di bawah 16 tahun yang  terjadi adalah pelecehan seksual di sekolah tingkat SMP dan SMA. Betapa tidak, Komnas Perempuan mencatat dalam waktu 13 tahun terakhir kasus kekerasan seksual berjumlah 93.960 kasus dari total 400.939  kasus kekerasan yang dilaporkan. Artinya setiap hari ada 20  perempuan menjadi korban kekerasan seksual dan itu termasuk para remaja, sebagaimana di kutip dalam Majalah Detik, 28 Januari-3 Februari 2013”.

Begitu juga pada contoh-contoh kejadian yang diutarakan Gina Pebrina, “Seperti di Pulo Gebang, Jaktim, seorang siswi SD yang berinisial RI dicabuli oleh ayah kandungnya sendiri dan akhirnya meninggal setelah terinfeksi penyakit gonorhea tertular dari si pelaku. (Al-Islam, edisi 642 1 Februari 2013). Tidak hanya itu seorang pria residivis berturut-turut mencabuli 6 orang bocah SD. Di Tegal Jateng, pada 16 Januari seorang siswi SMP diperkosa ramai-ramai oleh tujuh teman lelakinya”, setelah dibaca berulang-ulang dan diamati secara serius ternyata kejadian pelecehan yang dimaksud juga tidak terjadi di sekolah, sehingga tidak bisa langsung divonis bahwa “pelecehan seksual di sekolah”.

Sekolah sendiri secara tegas tidak mentolelir ada pelecehan seksual. Para peserta didik diajarkan pengetahuan, pemahaman, dan pendidikan yang menjadi bekal mereka kelak. Pendidikan sebagaimana Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003, Pasal 1  Ayat 1, bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Hal ini tentunya menjadi pedoman bagi para guru di sekolah untuk melaksanakan proses belajar mengajar.

  Pelajar yang menjadi korban atau pelaku pelecehan di luar sekolah tidak bisa dikatakan terjadi di sekolah. Di sekolah tidak diajarkan hal-hal yang berbau kekerasan ataupun pelecehan, sehingga tidak adil rasanya jika kita vonis semua pelajar ataupun sekolah seperti itu. Padahal banyak pelajar-pelajar yang berprestasi, berkelakuan baik, dan membanggakan orang tua. Begitu juga sekolah yang “melahirkan” alumni-alumni yang handal, mempunyai daya saing tinggi, berprestasi dan  membawa harum nama daerah bahkan negara tercinta ini. Mari melihat suatu permasalahan dari berbagai sudut pandang yang objektif.

Peserta didik berada di sekolah hanya selama 7-8 jam pelajaran saja, selebihnya peserta didik lebih banyak di luar sekolah (rumah) menghabiskan waktunya. Sehingga tidak asik rasanya jika masa depan anak digantungkan pada guru semata. Padahal pendidikan bukan hanya tanggungjawab sekolah (guru) tetapi tanggungjawab bersama, orang tua, masyarakat,  dan pemerintah. Pasal 7 Ayat 2 Undang-Undang Sisdiknas menyebutkan orang tua dari anak usia wajib belajar, berkewajiban memberikan pendidikan dasar kepada anaknya. Pasal 8, ayat 1 disebutkan masyarakat berhak berperan serta dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi program pendidikan. Pasal 10, pemerintah dan Pemerintah daerah berhak mengarahkan, membimbing, membantu, dan mengawasi penyelenggaraan pendidikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 
Kecenderungan orang tua ketika menyekolahkan anaknya seperti “menyerahkan” sepenuhnya tanggungjawab pendidikan kepada guru padahal tidak demikian adanya. Jika selama di sekolah, peserta didik menjadi tanggungjawab sekolah untuk memberikan pendidikan, sedangkan jika di rumah menjadi kewenangan orang tua.

Sekali lagi, sekolah tidak mentolelir pelecehan atau tindak kekerasan di sekolah. Sekolah mengedepankan kaidah-kaidah pendidikan dalam penyelesaian permasalahan yang timbul. Sekolah dibangun atas dasar tujuan yang mulia untuk mencerdaskan anak bangsa sesuai dengan tujuan nasional pendidikan, untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi  manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, capak, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokrasi serta bertanggung jawab.
Para pendiri bangsa ini meyakini melalui pendidikan bangsa ini bisa maju. Sekolah menjadi media penting dalam kemajuan bangsa ini, karena itu mari kita percaya dengan sekolah dan mari kita bangga dengan sekolah-sekolah di negeri ini. Salam pendidikan
 
Ditulis Oleh : Tri Hayat Ariwibowo, S.Pd (SMA Negeri 3 Banjarbaru)
, , ,

Panik Akreditasi

Membaca status seorang teman di bbm nya “Alhamdulillah akreditasinya beres”, seakan menjadi jawaban mengapa dalam beberapa hari ini statusnya tanda merah strep putih yang berarti sibuk; tidak boleh diganggu. Kesibukan tersebut sangat beralasan karena akreditasi merupakan suatu keharusan bagi lembaga pendidikan terutama sekolah sebagaimana amanat UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003. Kemudian dipertegas dengan PP No.19 Tahun 2005.

Akreditasi menjadi sangat penting bagi “status formal” sekolah dimata pemerintah dan masyarakat.  Secara umum, akreditasi sekolah dipahami sebagai kegiatan penilaian (asesmen) sekolah secara sistematis dan komprehensif melalui kegiatan evaluasi diri dan evaluasi eksternal (visitasi) untuk menentukan kelayakan dan kinerja sekolah. Tujuannya untuk menentukan tingkat kelayakan suatu sekolah dalam menyelenggarakan layanan pendidikan dan untuk memperoleh gambaran tentang kinerja sekolah.

Bagi sekolah-sekolah yang baru pertama kali mengikuti akreditasi tentunya menimbulkan kepanikan. Bagaimana tidak, mempersiapkan isian instrumen asesmen disertai bukti fisik bukanlah persoalan mudah yang hanya dilaksanakan satu-dua orang saja.  Akreditasi sekolah mencakup penilaian terhadap sembilan komponen sekolah, yaitu kurikulum dan proses belajar mengajar, administrasi dan manajemen sekolah, organisasi dan kelembagaan sekolah, sarana prasarana, pendidik dan tenaga kependidikan, pembiayaan, kelulusan, peran serta masyarakat, dan lingkungan dan kultur sekolah. Sehingga tidak mungkin hanya kepala sekolah saja yang melaksanakannya tanpa bantuan dari guru-guru yang lain. Karena itulah diperlukan adanya tim yang menangani secara khusus akreditasi ini.

Tidak semua sekolah dapat secara langsung mengikuti akreditasi sekolah ini. Ada prasyarat yang harus dipenuhi, yaitu memiliki surat keputusan kelembagaan (UPT), kemudian memiliki siswa pada semua tingkatan. Selain itu harus memiliki sarana dan prasarana pendidikan, serta memiliki tenaga kependidikan. Sekolah juga harus memakai atau melaksanakan kurikulum nasional dan telah menamatkan siswa.

Pengalaman sekolah kami ketika mempersiapkan akreditasi juga tidaklah mudah, namun dengan tekad yang kuat dan kerjasama tim yang solid kami bisa mempersiapkan semuanya. Alhamdulillah.
Sehingga jika ada sekolah yang kesulitan dalam persiapan akreditasi sangatlah bisa dimengerti. Banyaknya instrumen yang harus diisi lengkap dengan bukti fisik bukanlah kegiatan yang bisa selesai satu-dua hari saja, melainkan memerlukan waktu persiapan yang lama. Hal ini berbanding terbalik dengan penilaiannya yang hanya satu hari saja selesai. Itulah persiapan, semuanya harus direncanakan dengan baik dan lengkap agar saat penilaiannya bisa berlangsung sukses dan lancar.

Persiapan yang berhari-hari tersebut akan terbayar lunas dengan keluarnya hasil penilaian berupa sertifikat akreditasi sekolah. Sertifikat ini merupakan surat yang menyatakan pengakuan dan penghargaan terhadap sekolah atas status dan kelayakan sekolah melalui proses pengukuran dan penilaian kinerja sekolah terhadap komponen-komponen sekolah berdasarkan standar yang ditetapkan BAN-SM untuk jenjang pendidikan tertentu.

Dengan diperolehnya akreditasi sekolah maka selama 4 (empat) tahun kedepan sekolah tersebut menyandang  predikat sebagai sekolah yang terakreditasi. Tentu saja hal ini memberikan kebanggaan sekaligus keuntungan tersendiri bagi sekolah. Terlebih jika akreditasi yang diperoleh nilainya “A” maka rasanya tidak malu-maluin jika ditanya orang tentang akreditasi. Plus keuntungan karena dipercaya pemerintah, maka masyarakatpun turut percaya. Quota penerimaan peserta didik barupun dipastikan akan membludak. Selain itu, pada beberapa lembaga pendidikan kedinasan sekarang mengsyaratkan akreditasi sekolah sebagai bahan kelengkapan administrasi.

Panik akreditasi boleh namun harus tetap semangat. Berat sama dipikul, ringan sama dijinjing.

Ditulis oleh : Tri Hayat Ariwibowo, S.Pd (SMA Negeri 3 Banjarbaru)