Filled Under:

KETIKA GURU IKUT PORSENI

kartun guru

SMA Negeri 3 Banjarbaru, Membicarakan tentang tenaga kependidikan (guru) di negeri ini seakan tidak ada ujungnya, selalu menarik dan asik diperbincangkan. Guru mempunyai daya magnet yang luar biasa dalam dunia pendidikan. Pendidikan tampa guru ibarat sayur tampa garam, hambar dan tidak berasa.
Namun kini saya tidak membicarakan tentang sayur, tetapi tentang spirit guru-guru yang luar biasa ketika bertemu dalam Pekan Olah Raga dan Seni (Porseni) Persatuan Guru Republik Indonesia ke-VI Tahun 2012 di Kota Banjarbaru. Namun bagi saya, Porseni tersebut tidak sekedar lomba saja melainkan wadah silaturahim para guru untuk bertemu dan bertukar pengalaman, berbagi pengetahuan serta informasi.dan tentunya juga sebagai ajang reuni. Sangat tepat jika kemudian panitia membuat spanduk besar bertuliskan, “bukan kejuaraan yang kita kejar tapi persaudaraan yang kita utamakan”.


***

Sebagai agenda tahunan maka tidak heran jika dalam Porseni kali ini para guru-guru tampil dengan penuh semangat membawa panji-panji kabupaten/kota masing-masing. Menyaksikan guru-guru bertanding dalam Porseni hampir tidak nampak lagi bahwa mereka seorang pengajar karena totalitas dan loyalitas membela nama daerah patut diacungi jempol.

Namun jika diluar arena pertandingan maka kebersamaan sebagai guru tetaplah terjaga dengan baik. Disinilah terlihat bagaimana persaudaraan sebagai sesama guru terlihat. Mereka saling menghargai dan menghormati serta menjaga nama baik profesi guru. Karena itu sampai akhir pertandingan hampir tidak ada insiden yang berarti terjadi. Tidak ada kesalahpahaman ataupun protes yang berlebihan, semunya masih dalam koridor sportivitas dan fair play.

Menariknya, Porseni kali ini turut dihadiri oleh Ketua Pengurus Besar Nasional PGRI, Prof. Sulistyo, M.Pd yang secara khusus memberikan apresiasi besar terhadap penyelenggaraan Porseni ke-VI ini.  Setidaknya dari kesediaan beliau untuk turut menghadiri pembukaan dan berkesempatan untuk menyaksikan beberapa cabang Porseni yang dipertandingkan menunjukkan bahwa kecintaan beliau terhadap guru patut diacungi jempol.

Tidak ketinggalan juga semangat para guru yang bertanding luar biasa. Tidak saja para guru-guru muda tetapi juga para guru yang sudah senior bahkan pensiun masih turut aktif dalam kegiatan ini. Tentu saja porsinya berbeda sesuai dengan cabang Porseni masing-masing.

Porseni tahun ini digelar bertepatan dengan libur semester sekolah sehingga tidak menjadi kendala dalam hal waktu pelaksanaan, sehingga jumlah peserta yang mengikuti Porseni tahun ini lebih banyak dari pada sebelumnya. Namun bukan menjadi masalah karena panitia telah mengantisipasi hal ini dengan menyediakan beberapa sekolah untuk menjadi home base para peserta dari kabupaten/kota.

Hanya saja jalannya Porseni kali ini tidak gegap gembita seperti pelaksanaan Porprov, maklum sebagai orang timur maka budaya sederhana menjadi ciri tersendiri dalam pelaksanaan Porseni. Kemeriahan justru terlihat disetiap arena atau tempat pertandingan. Sorak sorai dan teriakan semangat menjadi bukti besarnya antusias peserta mengikuti Porseni ini.


***

Jika anda berkesempatan menyaksikan pertandingan Porseni cabang sepakbola, maka lapangan Murdjani menjadi saksi bagaimana gigihnya perjuangan guru-guru ini bak pemain profesional bertanding. Aksi para guru ini mengundang perhatian para pengguna jalan yang lewat, tidak jarang mereka berhenti dan menonton pertandingan seru tersebut.

Tidak saja di cabang sepakbola, di cabang lainpun tidak kalah serunya. Pertandingan bola voli, tenis meja, tenis lapangan, bulu tangkis, atletik selalu ramai dengan sorak sorai penonton dan para supporter masing-masing daerah. Begitu juga dengan pertandingan catur yang digelar di terminal catur MGR selalu penuh dengan penonton. Ternyata berbagai cabang olahraga tersebut turut diikuti oleh “bukan guru biasa”. Mengapa demikian, karena dari pengamatan penulis bahwa selain berprofesi sebagai guru mereka juga atlet olahraga dimasing-masing kabupaten/kota yang bertanding pada Porprov lalu. Sehingga pada saat bertanding kini mereka sudah terbiasa dan tidak canggung lagi. Berbeda sekali dengan para guru baru ikut pertama kali Porseni ini.

Pun demikian, pertandingan Porseni ini memberikan pengalaman yang berharga bagi para guru yang baru pertama kali mengikuti kegiatan ini. Benarlah sesuai motto panitia, maka kalah menang bukanlah tujuan utama dari Porseni PGRI ini. Yang menang tidaklah berlebihan dalam perayaan, begitu juga yang kalah tidaklah kecewa yang mendalam. Persaudaraan sebagai guru telah memberikan kedewasaan untuk menerima kalah dan menang. Tidak jarang, walaupun kalah tetapi senyum diantara mereka tetap ada.

Tidak saja olahraga, cabang seni pun menjadi perlombaan yang menarik untuk disaksikan. Sepertinya cabang seni ini menjadi media penyaluran bakat bagi para guru-guru dibidang seni, sehingga cabang ini juga selalu dipadati penonton.

Misalnya saja pada perlombaan drama tradisional, tiap kabupaten/kota menampilkan pertunjukkan yang menawan. Walaupun hanya berdurasi 20 menit tetapi karya mereka patut mendapat tepuk tangan yang meriah. Untuk paduan suara yang dilaksanakan di Aula Gawi Sabarataan selalu dipadati penonton. 20 orang penyanyi yang tampil membuat merinding penonton yang hadir. Pesan moral yang disampaikan lewat lagu yang mereka bawakan telah mampu membuat juri begitu kesulitan menentukan pemenang.

Khusus perlombaan musik panting, rebana, bakisah bahasa banjar, dan tari hendaknya tidak dilihat hanya sebagai lomba biasa tetapi ini merupakan wujud nyata dari peran PGRI untuk turut melestarikan khasanah budaya banua. Sebagai bagian dari pendidikan lokal, maka para guru telah berperan besar dalam melestarikan budaya banjar. Petikan senar panting dan lagu yang dibawakan peserta membawa kita pada memori kejayaan budaya daerah sebagai suatu hiburan yang menyenangkan bagi masyarakatnya. Pukulan rebana yang beriringan dengan dinamis membahana di Aula Banyak Guna memberikan sajian musik bernuansa Islami.

Turut melestarikan budaya sekaligus hiburan adalah bakisah bahasa banjar. Lomba ini memberikan kesadaran kepada kita betapa kayanya budaya banjar ini, namun sayang kini jarang terdengar. Melalui Porseni ini bakisah bahasa banjar diangkat kembali menjadi suatu hal yang menarik. Dan ternyata benar, taman air mancur yang menjadi tempat kegiatan dipenuhi penonton yang ingin menyaksikan kepiawaian para guru bakisah bahasa banjar.

Kisah-kisah yang dibawakan pesertapun beragam tetapi semuanya merupakan cerita rakyat yang berasal dari banua ini. Misalnya saja cerita Diang Insun (Batu Benawa), Gunung Batu Hapu, Ular Dandaung, Intingan Lawan Dayuhan dan lain sebagainya dibawakan dengan penuh kesederhanaan khas ala urang banjar bahari.

Sebagai bagian akhir catatan ini, bahwa ditengah kesibukan belajar dan mengajar, Porseni telah menjadi media aktualisasi diri para guru untuk berkreasi, berekspresi dan berprestasi. Walaupun hanya dilaksanakan selama 4 (empat) hari, Porseni telah memberikan bukti besarnya peran guru yang tidak hanya mengajar tetapi juga mampu berprestasi dibidang olahraga dan seni.

0 comments:

Post a Comment